Sabtu, 20 Februari 2010 pukul 10:23:00
Belajar dari Belanda
Oleh
Ina Mirawati (Pegawai Arsip Nasional RI)
Air adalah unsur
kehidupan utama bagi umat manusia. Tapi, air juga dapat menjadi musuh
yang dahsyat bila tidak ditata dengan baik. (AR Soehoed, Banjir
Ibukota
, 2002:18)
Pengendalian banjir di Jakarta harus menjadi
salah satu peristiwa nasional yang didukung oleh semua instansi yang
berkepentingan, harus juga mendapat dukungan politik yang jauh di
luar kepentingan partai. Karena, dampak banjir akan terbawa ke
seluruh masyarakat, menyebabkan jalan raya dan jalan kereta api
rusak, penerbangan menjadi lumpuh, komunikasi dan berbagai sarana
lain akan putus, serta pendidikan dan produktivitas terganggu.
Di
dalam sejarah dunia banyak contoh dapat digunakan sebagai acuan di
mana banjir yang tidak terkendali akhirnya melahirkan tanah tandus.
Banjir yang terjadi di Jakarta selama tiga hari saja, sangat membawa
dampak signifikan bagi pasar-pasar megah/swalayan yang mengalami
kekosongan sayur-mayur, telur, buah-buahan, dan
rempah-rempah.
Musibah banjir di Jakarta pada 27 Januari
2002 dan banjir 5 tahunan yang diperkirakan selalu hadir, membuat
kita menengok sejenak ke masa pemerintahan Belanda dalam mengatasi
banjir, khususnya di Jakarta. Sesuai dengan namanya, 'Nederland',
Belanda adalah negara yang wilayahnya terletak di bawah permukaan air
laut. Jadi, tidaklah mengherankan ketika orang-orang Belanda datang
ke Indonesia dan akhirnya menetapkan Batavia sebagai ibu kotanya,
mereka sudah mempelajari dan mengantisipasi jika musim hujan tiba dan
jika Batavia terendam banjir. Maka, ketika membangun Batavia pada
1619, mindset
Jan Pieterzoon Coen terinspirasi pada negaranya.
Mindset
itu adalah menghancurkan permukiman kaum pribumi dan menjadikan
Batavia sebagai jiplakan kampung halaman di Belanda waktu itu,
lengkap dengan kanal, jembatan tarik, rumah kanal, kanopi susun,
sebuah gereja, lonceng gereja, dan jalanan yang dikeraskan dengan
batu-batu bulat. (Peter JM Nas dan Kees Grijns, Jakarta-Batavia,
2007: 5).
Wilayah Kota Batavia didirikan di tebing timur
bagian Muara Ciliwung, Kali Besar, dan membagi-baginya dengan
terusan-terusan dengan maksud menyediakan alur-alur pelayaran, alur
pembuangan air, dan juga sarana dalam rangka pertahanan daerah kota.
Pada 1634, Muara Ciliwung diperpanjang alur muaranya dengan
tanggul-tanggul laut sampai mencapai lokasi terumbu karang di lepas
pantai. Pada pertengahan abad ke-17, jaringan terusan-terusan
diperluas lagi sampai mencapai sungai-sungai di luar Kota Batavia
untuk dapat memberikan pengairan sawah-sawah dan kebun tebu di luar
kota. Dan, juga untuk menyalurkan air dari luar ke dalam kota karena
Kali Besar pada musim kemarau sudah kekurangan air.
Van
Breen planing
AR
Soehoed dalam bukunya, Banjir
Ibukota
(2002:25), mengutip tulisan Prof Ir H Van Breen berjudul
Verbetering
van de Waterstaat van de hoofdplaats Batavia
, menerangkan bahwa Van Breen menyusun rencana untuk perbaikan tata
air ibu kota Batavia. Inti rencananya, mengendalikan tata air Kota
Batavia, khususnya dari bagian yang terbangun dengan sungai dan
tersusun dalam jumlah yang sekecil mungkin, dan arah utama dari
selatan ke utara. Terusan banjir dimaksud untuk menahan semua banjir
dari arah selatan dan mengelakkannya ke barat. Dengan hanya beberapa
sungai dan terusan dari selatan ke utara, pengendalian banjir akan
lebih mudah, pengendapan terbatas, dan kemungkinan penggelontoran
masih dimungkinkan.
Pada dasarnya, Van Breen condong pada
pembatasan jumlah saluran-saluran air di wilayah kota pada beberapa
saluran dan sungai saja, yaitu Ciliwung hingga Pintu Air Nusantara
terus ke Gunung Sahari, lalu saluran utama dari Pintu Air Karet
melalui daerah Menteng terus ke Muara Baru (sekarang Waduk Pluit).
Kali Krukut berperan sebagai saluran penggelontoran.
Pembuatan
saluran tidak boleh terlalu diperdalam dan selalu digelontor pada
waktu-waktu tertentu. Dengan saluran-saluran yang berkapasitas besar,
Van Breen mengharapkan akan terwujud suatu sistem dengan daya tampung
besar yang pada musim kemarau masih cukup mempunyai air, baik untuk
pelayaran sungai maupun untuk penggelontoran. Daerah yang dilingkupi
oleh sungai-sungai ini kemudian akan dikeringkan dengan sistem
pemompaan.
Pokok pikiran Van Breen adalah berupaya untuk
mengeringkan daerah-daerah rendah melalui kelompok-kelompok petak
secara gravitasi dan meninggikan daerah-daerah ini. Setelah itu,
melintasi daerah-daerah tersebut dengan suatu sistem saluran-saluran
pengumpulan air yang semuanya berarah ke saluran-saluran
besar.
Banjir
dalam Khazanah Arsip
Data-data/informasi
mengenai masalah banjir tertuang sangat lengkap dalam laporan, surat
keputusan, maupun surat menyurat dan dapat dibaca dalam khazanah
arsip yang ada di Arsip Nasional RI (ANRI). Sebagai contoh adalah
arsip dari Algemeene Secretarie mengupas masalah usaha penanganan
banjir di Hindia Belanda. Sebuah surat yang dikirim oleh bagian
Pengairan dari Departement Verkeer en Waterstaat melaporkan,
sungai-sungai di bagian hulunya berbentuk datar yang rendah akibat
banjir dan untuk mempelajari hal-hal berkaitan dengan aliran air,
maka ada sebuah laboratorium modern di Bandung.
Surat
Departement der Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan
Umum) mengusulkan perbaikan saluran air di ibu kota Batavia dengan
melakukan pengeringan di bagian barat daya kotapraja Batavia. Dalam
surat ini, dijelaskan rencana Ir Van Breen dan Dr De Vogel dalam
menangani masalah banjir di Batavia, antara lain daerah Pekojan,
Penjaringan, Tanjung Priok. Dijelaskan juga bahwa banjir yang dialami
Batavia terjadi karena adanya pembukaan perkebunan teh di sebelah
selatan Bogor. Hutan kawasan Puncak ditebang.
Kayu-kayu
hutan dikirim ke kota untuk gedung, gudang, dan galangan kapal.
Sebetulnya, pada masa pemerintahan HW Daendels pada 1807 telah
dikeluarkan ketentuan tentang pembatasan eksploitasi hutan. Untuk
memperbaiki susunan perkampungan menjadi lebih sistematis, pada 1919
Gubernur Jenderal mengeluarkan Besluit
(Surat Keputusan). Dengan besluit
itulah dirumuskan berapa dana yang diperlukan, siapa yang akan
mengerjakan, dan bagaimana pelaksanaannya.
Ada perbedaan
antara zaman kolonial dengan sekarang. Dulu Belanda mengubah hutan
menjadi kebun teh, sedangkan orang kaya sekarang mengubah kebun teh
menjadi bangunan. Semoga dengan belajar dari Belanda, penanggulangan
masalah banjir di Jakarta dapat teratasi, apalagi dengan adanya
pembangunan Banjir Kanal Timur. Semoga!
SUMBER: REPUBLIKA
Tags: belajar, pukul, sabtu, 102300, februari, belanda