TENTANG PROFESI DAN PROFESIONALISASI GURU OLEH MUHADJIR EFFENDY) DIMUAT

17 PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR TENTANG PENERIMAAN
4 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG
BERANDA TENTANG KAMI PROFIL UNIVERSITAS PGRI

107 LAMPIRAN I PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR TAHUN TENTANG
11 RANCANGAN PERATURAN BUPATI MOJOKERTO NOMOR TAHUN 2019 TENTANG
11 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG

TENTANG PROFESI DAN PROFESIONALISASI GURU

Oleh Muhadjir Effendy*)

Dimuat di Harian Republika Tgl. 2 Pebruari 2011



Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, guru dipandang sebagai faktor kunci. Pemerintah pun dalam enam tahun terakhir ini menaruh perhatian yang serius dalam upaya meningkatkan kualitas guru. Di diantaranya melalui program sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi bagi guru. Melalui UU nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdikna), diperkuat dengan UU nomer 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; guru pun ditasbihkan sebagai pekerjaan profesional,

Samuel P. Huntington, yang banyak membahas masalah profesionalisme menetapkan tiga kriteria untuk suatu pekerjaan disebut profesional. Di samping dituntut adanya tanggung jawab sosial (social responsibility), dan kesejawatan (corporateness), pekerjaan itu juga memerlukan keahlian (expertise). Menurut Huntington, keahlian adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu yang agar bisa menguasainya seseorang harus menempuh pendidikan dan latihan khusus, dalam waktu yang relatif lama, dengan tingkat kesulitan yang tinggi.

Jadi secara ideal, tidak ada seorang pun bisa melakukan suatu pekerjaan profesional kecuali yang telah menempuh pendidikan dan latihan sebagaimana tersebut di atas. Implikasinya setiap pekerjaan profesional selalu menimbulkan perasaan eksklusif (sense of exclusifity) para pelakunya. Selanjutnya rasa eksklusif itu akan menjadi fondasi bagi terbangunnya pola hubungan kesejawatan di antara mereka dalam sebuah organisasi profesi. Orang-orang seprofesi saling berbagi dan memuta-akhirkan ilmu pengetahuan dalam lingkup pekerjaannya secara terus menerus, serta menyepakati suatu kode etik yang harus dipatuhi oleh semua anggotanya. Hal itulah yang terjadi dalam semua pekerjaan profesional yang dianggap sudah mapan seperti halnya dokter ataupun tentara.

Lantas, bagaimanakah halnya pekerjaan guru?. Benarkah guru itu pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang?. Benarkah untuk mampu menjadi guru terlebih dahulu harus menempuh pendidikan dan latihan khusus, lama dan sulit?. Dalam kenyataan saat ini banyak orang dewasa dengan pendidikan seadanya dapat berperan menjadi guru dan tidak dianggap guru palsu. Bandingkan dengan bila seorang awam membuka praktek dokter, ia akan disebut dokter gadungan dan bisa dituntut secara pidana.

Maksud bandingan di atas adalah untuk menyatakan betapa guru sebagai pekerjaan sekarang ini sangat terbuka untuk siapa saja. Kalau ingin menjadikan guru sebagai pekerjaan profesional, pertama adalah harus mengangkat dan menjaga martabat pekerjaan guru dengan mengeksklusifkan pekerjaan itu. Membuat ketentuan hukum dan rambu kebijakan yang ketat yang tidak membiarkan pekerjaan guru itu bisa dimasuki oleh barang siapa saja. Karena semua pekerjaan profesional pasti menuntut adanya perlindungan atas hak-hak eksklusifitasnya.



Bukan Pekerjaan Upahan

Konon profesi adalah berakar dari tradisi gereja. Berasal dari kata professio, yang artinya semacam ikrar yang dilakukan oleh para calon biarawan dan biarawati sebelum melaksanakan pekerjaan pelayanan kepada umat. Intinya, mereka berikrar akan menyerahkan seluruh hidupnya untuk mencintai pekerjaannya itu, dan mengabdikan manfaat pekerjaan itu untuk kepentingan kemanusiaan. Oleh sebab itu, seorang yang memilih suatu profesi, syarat dan alasannya harus oleh karena panggilan jiwa bukan karena ingin mendapat bayaran. Memang seorang profesional perlu mendapatkan jaminan hidup layak agar dapat mengabdikan diri sepenuhnya pada pekerjaannya itu, akan tetapi hal itu ia terima bukan sebagai bayaran melainkan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan. Mereka tidak diupah tetapi mendapat honorarium.

Huntington mencatat bahwa sejak pertengahan abad dua puluh terjadi kemerosotan makna profesi. Arti profesi bergeser menjadi pekerjaan yang mendapat bayaran tinggi sebagai lawan dari pekerjaan amatir. Lama kelamaan, justru faktor bayaran tinggi lah yang menjadi keriteria baru sedang kriteria lama yang telah menjadikan pekerjaan profesional itu sedemikian mulia dan agung kian diabaikan, misalnya dalam hal keharusan adanya tanggung jawab sosial. Bahkan profesi sudah mengandung arti pejorative: pembunuh bayaran disebut pembunuh profesional, PSK yang diupah mahal disebut pelacur profesional.

Jika ditilik dari idealisme pekerjaan profesional, adalah kurang tepat jikalau penaikan gaji guru dipandang sebagai cara untuk mengangkat status guru menjadi pekerjaan profesional. Justru dengan kenaikan pendapatan guru yang luar biasa bisa memicu banyaknya peminat menjadi guru bukan lantaran motivasi intrinsik, yaitu panggilan jiwa dan kecintaan terhadap pekerjaan guru, akan tetapi lebih karena motivasi ekstrinsik yang artifisial, karena pekerjaan guru secara ekonomis cukup menggiurkan.



Sertifikasi Porto Folio

Jumlah guru di Indonesia, berdasarkan catatan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Kemendiknas; per Nopember 2010 adalah 2.791.204 orang. Sejak tahun 2006 pemerintah melakukan program sertifikasi guru melalui porto folio. Dilaksanakan oleh beberapa perguruan tinggi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Sampai tahun 2010 telah ada 753.155 guru bersertifikat. Meski sudah sangat massif, namun angka tersebut baru setara dengan 27 persen dari jumlah guru. Itupun sebetulnya guru yang memperoleh sertifikat secara substanstif tidak dengan sendirinya lantas menjadi profesional. Beda dengan sertifikasi portofolio untuk mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) bagi para dokter. Karena sebelum disertifikasi para dokter memang sudah mendapatkan pendidikan profesi. Sedang program sertifikasi guru tampaknya lebih berfungsi sebagai alat legitimasi bagi yang bersangkutan untuk memperoleh tunjangan profesi guru.

Apabila seluruh guru akan berstatus sebagai pekerja profesional maka di Indonesia ini ada profesi yang jumlah angggotanya luar biasa banyak. Bandingkan dengan dokter yang hingga Oktobber 2010, yang teregistrasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) hanya mencapai 114.7706 orang. Atau dengan TNI yang menurut sumber di Mabes TNI, hingga Desember 2010 jumlahnya sebanyak 414.657 personnel. Dari jumlah tersebut dari golongan perwira hanya 54.108 saja.

Kalau menjadikan pekerjaan militer sebagai bandingan, di sana ada tingkatan-tingkatan profesionalitas. Ada golongan tamtama, bintara dan perwira. Apabila merujuk pendapat Harrold D Lasswell maka hanya golongan perwira lah yang sepenuhnya bisa disebut profesional, yaitu sebagai spesialis dalam pengelolaan kekerasan (spesialized in the management of violence). Sedang tamtama dan bintara adalah tergolong terampil dan mahir dalam menggunakan alat kekerasan, kendatipun di dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, dinyatakan bahwa TNI adalah tentara profesional.

Mengambil nisbat yang ada dalam pekerjaan militer, maka di dalam pekerjaan guru perlu dipertimbangkan kemungkinan membuat tingkatan-tingkatan profesionalitasnya. Hanya guru yang mumpuni dengan unjuk kerja yang sangat baik saja yang mestinya bisa mencapai derajat profesional. Namun apabila pemerintah tetap bermaksud memprofesionalkan seluruh guru, berarti ada pekerjaan besar dan berat. Di samping masalah jumlahnya yang begitu besar juga masalah kualitas lembaga yang bakal menyelenggarkan program pendidikan profesi yaitu LPTK. Dari 362 LPTK yang ada, kualitasnya sangat beragam, dan sebarannya sangat tidak merata. Runyamnya, kemungkinan hanya sedikit LPTK yang betul-betul layak menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Sehingga kalau program profesionalisasi massif itu tetap dilakukan yang terjadi pasti praktek kejar target sebagaimana yang terjadi pada program sertifikasi lewat porto folio selama ini yang dinilai banyak pihak memiliki banyak kelemahan.

Tak kurang Wakil Mendiknas, Prof. Fasli Jalal dalam seminar “Re-Desain Pendidikan Profesional Guru”, 18 Desember yang lalu menyampaikan rasa herannya atas capaian program seritifikasi melaui porto folio. Katanya, seharusnya yang lulus melalui porto folio tidak lebih dari 20%. Hanya yang benar-benar guru mumpuni yang mestinya lolos. Sedang yang sebagian besar harus lewat program Pendidikan dan Latihan Profesi Guru ( PLPG). Walaupun lewat program ini sebetulnya juga tidak banyak yang bisa di dapat oleh peserta mengingat waktu pelaksanaanya yang hanya sembilan hari.

Memang kebijakan adalah soal pilihan. Ketika orientasi pilihannya jatuh pada kuantitas yang massif demi mengejar target dan terserapnya anggaran maka aspek kualitas bisa saja terabaikan. Akan tetapi dalam masalah profesionalisasi guru apakah kita akan tetap bilang: “Lanjutkan...!” ?.



*) Muhadjir Effendy, Rektor Univ. Muhammadiyah Malang


14 UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG
15 RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG
2 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TENTANG


Tags: dimuat di, dimuat, profesionalisasi, effendy), tentang, muhadjir, profesi