RASIONALITAS POLITIK PDIP IDING R HASAN (DIMUAT DI PIKIRAN

RASIONALITAS POLITIK PDIP IDING R HASAN (DIMUAT DI PIKIRAN






Rasionalitas Politik PDIP

Iding R. Hasan*

(Dimuat di Pikiran Rakyat, Selasa 10 September 2013)

RASIONALITAS POLITIK PDIP IDING R HASAN (DIMUAT DI PIKIRAN

Perhelatan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Ancol pada 6-8/09 telah selesai. Tidak ada keputusan mengejutkan yang ditunggu-tunggu banyak pihak seperti pendeklarasian calon presiden untuk Pemilu 2014. Nama Gubernur DKI, Joko Widodo (Jokowi), yang banyak disuarakan selama rakornas oleh sebagian besar DPD sebagai kader paling potensial untuk diusung sebagai capres PDIP pada akhirnya tidak muncul. Rakernas hanya mengeluarkan 17 rekomendasi dalam rangka memenangkan pemilu.

Salah satu butir dari rekomendasi tersebut adalah memberikan mandat. kepada Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, untuk menetapkan nama capres partai kepala banteng tersebut. Hal ini berarti sama dengan keputusan Kongres Bali yang juga memberikan mandat serupa. Persoalannya adalah mungkinkah Mega masih memiliki nama lain lain selain Jokowi ataukah sudah tidak ada lagi pilihan jika ingin PDIP menjadi pemenang Pemilu 2014?

Rasionalitas Politik

Dalam konteks politik modern keputusan-keputusan politik seharusnya didasarkan pada sesuatu yang rasional, termasuk bagi partai-partai politik saat menetapkan siapa yang akan diusungnya sebagai capres. Demikian pula bagi partai moncong putih yang dikendalikan Mega. Rasionalitas politik tentu harus diprioritaskan dalam menentukan capresnya. Dari sisi ini, posisi Jokowi jelas berada di tingkatan paling atas. Suara-suara yang terdengar di internal PDIP dan dinamika eksternal menjadi bukti yang tak terbantahkan.

Mengapa Mega sepertinya tidak dapat menghindar dari kecenderungan tersebut. Pertama, dukungan internal PDIP sendiri terhadap Jokowi sangat besar bahkan boleh dikatakan dari Aceh hingga Papua seperti terepresentasikan pada suara-suara DPD. Hanya ada segelintir DPD yang menyuarakan nama-nama selain Jokowi, yakni Puan Maharani dan Mega sendiri. Tentu saja realitas politik tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja oleh Mega.

Kedua, ekspektasi publik terhadap sosok Jokowi sebagai capres yang paling diharapkan masyarakat Indonesia saat ini sungguh luar biasa. Dengan gaya kepemimpinannya yang transformatif, komunikasinya yang cair, merakyat dan sebagainya Jokowi telah menjelama menjadi magnet politik bagi kalangan manapun. Tidak aneh kalau semua hasil jajak pendapat dari berbagai lembaga survei di Indonesia menempatkan mantan Wali Kota Solo tersebut di posisi teratas secara konsisten.

Dari sudut pandang ini, tidak ada pilihan lain bagi Mega sebagai orang paling otoritatif di tubuh PDIP untuk berpaling ke lain sosok dalam menentukan capresnya. Emosionalitas politik, misalnya dengan bersiteguh mempertahan trah Soekarno atas dasar alasan bahwa masih banyak pula kelompok Soekarnois di partainya tampaknya tidak cukup bijak dijadikan pertimbangan pengambilan keputusan dalam konteks ini.

Mega sendiri agaknya telah memberikan sinyal untuk memberikan dukungannya pada Jokowi. Persoalannya adalah kapan momentum yang tepat untuk penetapannya secara resmi. Suara-suara di internal partai ada yang menghendaki agar dilakukan setelah pemilihan legislatif (pileg). Dalam hal ini, salah satu butir rekomendasi rakernas menargetkan PDIP meraih 27,02 persen suara pada pemilu sehingga PDIP dapat menentukan komposisi sendiri pasangan capres-cawapresnya.

Tetapi hemat penulis, keputusan menunda penetapan capres setelah pileg terlalu beresiko. Masalahnya adalah penetapan nama sebelum pileg berdampak secara signifikan terhadap elektabilitas partai. Jika Jokowi ditetapkan sebagai capres sebelum pileg, sulit dimungkiri bahwa pengaruhnya akan besar bagi PDIP sebab ekspektasi publik demikian tinggi pada sosok Jokowi. Justeru dengan penetapan capres tersebut target raihan suara yang ditetapkan rakornas dapat diraih.

Sebaliknya kalau tidak dilakukan bukan tidak mungkin PDIP akan dirugikan. Boleh jadi kemudian publik akan berpandangan bahwa Mega sebenarnya masih setengah hati untuk memberikan peluang pada sosok lain di luar garis keturunan ayahnya untuk tampil di pentas nasional. Sentimen negatif semacam ini salah-salah bisa menjadi bumerang bagi PDIP itu sendiri dan sangat mungkin dimanfaatkan oleh partai-partai lain untuk kepentingan politiknya.

Dengan demikian, sulit bagi Mega selain untuk menetapkan Jokowi sebagai capres dalam waktu yang tidak terlalu lama misalnya saat hari ulang tahun PDIP seperti banyak disuarakan pada rakornas kemarin. Kalau itu yang dilakukan Mega, bukan hanya ia akan dianggap sebagai seorang yang berjiwa besar dan negarawan sejati karena tidak mendahulukan kepentingan pribadi dan keluarganya saja, melainkan juga akan dianggap pemimpin yang mampu mengedepankan rasionalitas politik.


*Penulis adalah Doktor Komunikasi Unpad, Deputi Direktur The Political Literacy Institute,

RASIONALITAS POLITIK PDIP IDING R HASAN (DIMUAT DI PIKIRAN
































Tags: (dimuat di, hasan, (dimuat, rasionalitas, pikiran, iding, politik