KINI MISKIN MEDIA BERWAWASAN SASTRA APAKABARSASTRASUNDCI? KONVENSI DI NEGARA

KINI MISKIN MEDIA BERWAWASAN SASTRA APAKABARSASTRASUNDCI? KONVENSI DI NEGARA
WAWASAN ALQUR’AN TENTANG KEMISKINAN (KAJIAN TAFSIR TEMATIK) SKRIPSI DIAJUKAN





Kini Miskin Media Berwawasan Sastra

Kini Miskin Media Berwawasan Sastra

ApaKabarSastraSundci?

KONVENSI di negara kita seka­rang ini, menunjukkan bahwa sas-tra hidup dan berkembang umum-nya melalui media publikasi seperti suratkabar atau majalah. Hal ini terbukti dari sekian banyaknya karya sastra yang muncul dan nota bene menjadi konsumsi masyara-kat, seperti puisi, cerita pendek, atau cerita bersambung, banyak di-gelar di koran-koran atau majalah-majalah.

Demikian halnya dengan sastra Sunda. Perkembangan sastra Sun-da kebanyakan dan umumnya hi­dup dan berkembang melalui me­dia-media lain. Jarang sekali hasil karya sastra Sunda yang dipubli-kasikan oleh pengarangnya lang-sung berupa buku.

Hal ini oisa dimfingerti, karena hampir semua majalah atau surat­kabar menyediakan beberapa lem-bar halamannya untuk itu, dan ini merupakan lahan yang efektif dan mudah bagi para pengarang untuk mempublifcasikan karya-karyanya. Berbeda dengan mempublikasikan karya sastra langsung berupa bu­ku, khusunya dalam sastra Sunda, kesulitan pengarang selain susah mencari penerbit yang bersedia menerbitkan karyanya tersebut, juga kalaupun sudah menjadi buku biasanya Buku tersebut tak cepat habis terjual (T\.

Buku-buku fcarya sastra yang ada sekarang, yang diterbitkan dan dijual di toko-toko buku, itupun sebelumnya dipublikasikan terle-bih dahulu di koran-koran atau majalah. Seperti buku kumpulan cerita pendek "Jajaten Ninggang Papasten" karya Yus Rusyana, "Halimun Peuting" karya Iskan-darwassid, "Kanyaah Kolot" kar­ya Kama Yudibrata, dan beberap lagi yang lainnya, sebelumnya car-pon-carpon tersebut pernah juga dimuat di majalah "Mangle , "Gondewa", "Hanjuang", La-ngensari", "Campaka" dan "Sang-kuriang". Novel "Nu Kaul Lagu Kaleon" karya RAF, "Perang Bu-bat", "Wastu Kancana", dan yang akan terbit "Prabu Wangisutah", .ketiga-tiganya karya Yoseph Is-kandar, sebelumnya juga pernah dimuat berupa carita nyambung di majalah "Mangle". Dengan de-mikian dapat dikatakan bahwa perkembangan dan kehidupan sas­tra Sunda dipengaruhi juga oleh perkembangan dan kehidupan me­dia-media yang mempublikasi-kannya.

Secara kuantitatif, media cetak (koran dan majalah) yang berbaha-sa Sunda sekarang ini boleh dikata­kan saaya-aya, dan secara kualita-tif, dalam hal ini ditinjau dari kuali-tas karya sastra yang dimuat oleh media tersebut, belum semuanya bisa dinilai sebagai hasil sastra. Artinya karya-karya yang dimuat oleh media tersebut tidak bisa di-jadikan ukuran sebagai karya yang harus diperhitungkan nilainya da­lam perkembangan sastra.

Miskin media

Berbeda dengan tahun 50-an. Pada masa ini sastra Sunda bisa di­katakan kaya oleh majalah. Di an-: taranya majalah-majalah yang ada pada waktu itu adalah "Warga", 'Sunda", "Kuiang", "Mangle", dan "Kiwari". Pada umumnya da­lam satu majalah dimuat beberapa karya sastra dari beberapa penga rang, terutama cerita pendek.

Seperti yang dikatakan oleh Ab-dullan Mustappa, dalam ceramah-nya pada acara pasamoan "Catur Wirahma II" di IKIP belum lama ini, bahwa isi dari majalah-majalah tersebut umumnya mengutamakan cerita pendek, yang jadi andalan-nya adalah karya-karya yang di-muatnya itu, sedangkan berita atau artikel-artikel lain hanyalah pe-lengkap semata. Hal ini menunjuk­kan bahwa karya sastra pada waktu itu mendapat perhatian yang begi-tu besar dan positif dari redaktur-nya. Tentunya hal ini diikuti pula oleh kriteria penilaian terhadap suatu karya yang dimuat dan nota-bene menjadi tanggung jawab re-daktur majalah tersebut.

Bila dibandingkan dengan keadaan sekarang, media yang berbahasa Sunda kehidupannya jauh berbeda dibanding pada dasa-warsa 50-an. Kalau pada masa itu sastra Sunda kaya oleh media, ma-ka sekarang ini justru sebaliknya miskin media. Majalah dan surat kabar yang berbahasa Sunda yang masih bisa kita amati sampai seka­rang hanya ada empat saja, satu majalah,dua tabloid mingguan dan satu surat kabar. Media-media itu adalah: majalah "Mangle", tabloid mingguan "Galura , tabloid mingguan "Kujang", dan suratka­bar Giwangkara . Kalaulah bo­leh bisa juga ditambahkan majalah bulanan "Suara Daerah", karena dalam majalah tersebut terdapat "Lembada" (LembarBahasa Dae­rah) yang senngkali memuat cerita pendek (carpon) dan cerita ber-samixing dalam bahasa Sunda.

Dari kelima media tersebut, kita bisa mengamati perkembangan sastra Sunda, melalui karya-karya yang dimuat, seperti cerita pen­dek, puisi (sajakj atau cerita per-sambung. Adakalanya dimuat juga sastra-sastra buhun, seperti sisin-diran, jangjawokan atau dangding. Hanya sayangnya dari kelima me­dia tersebut hanya dua saja yang selama ini redakturnya dianggap punya wawasan sastra, yaitu maja­lah Mangle" dan tabloid minggu­an "Galura".

Tanggung jawab redaksi

Dari sekian banyak karya sastra yang dimuat dalam majalah dan su­ratkabar itu, tampaknya hanya "Mangle" (walaupun belakangan ini fungsinya lebih condone kepada majalan berita) dan "Galura '-lah yang mempunyai kriteria-kriteria tertentu untuk menyeleksi naskah

yang masuk. Ada kemungkinan karena redakturnya kebetumn pe­ngarang dan sastrawan. Setidak-tidaknya peraturan itu digunakan untuk mcmilih naskah yang berni-lai sastra tidak "terlalu jelek!" ka­rena selama ini masih ada satir ke­pada media itu, bahwa karangan yang dimuatnya masih "tak layak muat". Hal ini ditanggapi pula se­bagai alasan lantaran euweuh deul (karena tidak ada lagi).

Hal ini masih lebih baik kalau • dibandingkan dengan media-media yang lain, yang tampaknya sama sekali tidak memperhatikan hal-hal seperti itu. Pemuatan ka­rangan dilakukan dengan semba-rang (kemungkinan mempunyai kriteria tersendiri), sehingga kalau dilihat dari segi sastranya, sungguh tak ada apa-apanya! Bahasa dan ejaannya pun kadang^kadang tidak diperhatikan, rancu dan tak benar. Jangan-jangan redakturnya sendiri tidak paham akan hal itu. Akibat-nya, timbul kecenderungan negatif dari para pengarang. Mereka eng-gan untuk mengirimkan naskah (ca rangnnya untuk dipublikasikan di media tersebut. Leoih baik mengi rimkannya ke redaksi yang berwa-wasan sastra tadi. Walaupun pe-muatannya harus antre dengan pe-ngarang-pengarang yang lainnya. •

Sekarang jelas masalannya, bah­wa media yang saaya-aya itu tidak semuanya bisadimanfaatkan secara optimal bagi perkembangan dan kehidupan sastra Sunda, yang de-wasa mi dikatakan oleh Usep Romli HM sedang mengalami se-karat awal.

Alangkah baiknya dan akan menjadi berita gembira bagi para pengarang saya kira, para sastra­wan, dan insan sastra yang lainnya; seandainya media-media yang be­lum mempunyai wawasan sastra ' punya juga kriteria-kriteria terteri-tu untuk menilai naskah-naskah sastra yang akan dimuatnya. Se­hingga para pengarang dapat mengembangkan kreativitasnya le­bih luas dan lebih banyak kesem-patan lagi. Juga para kritikus bisa mendapatkan leoih banyak lagi bahan-bahan untuk dijadikan ob-jek kritiknya. Sehingga ungkapan da euweuh nu rek aikritikna oee (tidak ada bahan untuk dikritik) yang sering dilontarkan oleh pa,ra kritikus, tidak terulang lagi.

Untuk mengatasi hal mi, kita kembalikan pada tanggung jawab redaksi sebagai pengelolanya. Apakah mereka mau merombak dan mengubah "kekakuan" yang selama ini terjadi, atau mau me­nyediakan redaktur yang setidak-tidakhya tahu tentang sastra, dan bisa mensejajarkan diri dengan apa yang telah dilakukan oleh "Mangle dan "Galura"? Kalau ti­dak maka perkembangan dan kehi­dupan sastra Sunda akan tetap $<i karat awal atau kemungkinan nga-hiang! , (Darpan Ariawinangun) ***





Tags: apakabarsastrasundci? konvensi, berwawasan, negara, sastra, konvensi, miskin, apakabarsastrasundci?, media