MELAHIRKAN NILAI PANCASILA JAWA POS [ SELASA 01 JUNI

DINAR ANGRAINI “PANTANGAN MAKAN IBU HAMIL DAN PASCA MELAHIRKAN
MELAHIRKAN NILAI PANCASILA JAWA POS [ SELASA 01 JUNI





Melahirkan Nilai Pancasila


JAWA POS, [ Selasa, 01 Juni 2010 ]

Oleh : Listiyono Santoso

1 Juni sering diklaim dan diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah apakah Pancasila itu sudah lahir? (Damardjati Supadjar)

Tanggal 1 Juni sesungguhnya menjadi momentum yang tepat untuk kembali mendiskusikan Pancasila dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah karut-marutnya kehidupan berbangsa yang mengedepankan fenomena konfliktual di berbagai daerah, isu primordialisme serta sektarianisme, spirit menghidupkan (kembali) nilai-nilai Pancasila menjadi menemukan relevansinya.

65 tahun silam, dalam sidang BPUPKI pertama
foundhing fathers bangsa sedang berdebat serius untuk merumuskan dasar filosofis pembentukan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Muncullah -kemudian- istilah Pancasila yang mengidealisasikan lima nilai (value) sebagai landasan pijaknya; ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan (sosial).

Pergulatan kreatif tersebut sesungguhnya harus dimaknai sebagai keinginan tulus dan serius para pendiri bangsa untuk mendirikan sebuah negara atas dasar
value yang berkembang dalam masyarakat kita. Persoalannya adalah apakah sejak kelahirannya, pemaknaan atas hari lahirnya Pancasila tetap sebatas proses pemunculan belaka, sebagaimana perdebatan yang belakangan muncul?

Pernyataan sekaligus pertanyaan Damardjati Supadjar di atas tampaknya relevan untuk direnungkan,
apakah Pancasila sudah lahir? Apabila wujud paling konkret dari kelahiran Pancasila adalah manakala tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai indikatornya, apakah kita sebagai warga bangsa yang mengaku berpancasila pernah melahirkan Pancasila dalam wujud "model-model" yang berupa strategi-strategi, sistem-sistem, struktur-struktur, pemimpin dan rakyat, sikap dan perilaku, sarana-sarana dan suasana pendukung lainnya sehingga tercipta keadilan sosial atau justru sebaliknya.

Sebagai sebuah sistem nilai, Pancasila memberikan koridor bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara ini dijalankan. Pancasila pernah menjadi
common value dan common denominator bagi kebangsaan yang begitu majemuk. Tidak bisa dibayangkan bagaimana pluralitas kebangsaan bisa dijaga dan dirawat ketika common value ini dibangun hanya berdasar unsur-unsur primordial maupun agama tertentu yang dominan.

Begitu juga pelabelan Pancasila demi kepentingan kekuasaan pada masa lalu tidak seharusnya muncul lagi. Sistem demokrasi Pancasila pada masa lalu, ternyata hanya menjadikan Pancasila sebagai alat melegitimasi nalar kuasa yang ada. Karena itu, menjadi wajar ketika era reformasi melahirkan citra negatif terhadap Pancasila pada hampir semua level masyarakat.

Koridor Kebangsaan

Pada tingkatan ini, ada sebuah pertanyaan besar, benarkah bangsa Indonesia masih menggunakan Pancasila sebagai koridor kehidupan berbangsa dan bernegara? Lihat saja, mengerasnya isu primordialisme dan sektarianisme di berbagai bidang kehidupan. Aksi-aksi yang mengatasnamakan agama untuk "mematikan" semangat pluralitas kebangsaan juga marak bermunculan.

Bahkan, tengara dominasi "nalar agama" tertentu dalam pembentukan perundang-undangan dan perda bukanlah fenomena, melainkan fakta. Kasus pro-kontra UU Sisdiknas N0 20 Tahun 2003 atau UU Pornografi adalah bukti betapa nalar agama tertentu begitu dominan memasuki ruang publik kita. Setiap yang berbeda dengan rancangan tersebut akan dipahami sebagai musuh agama yang harus dimusnahkan dan pendukungnya adalah malaikat.

Pancasila pada level ini tidak lagi menjadi koridor. Berketuhanan kita tidak lagi berkeadilan, berketuhanan kita tidak lagi berkemanusiaan dan berpersatuan Indonesia. Semuanya demi kepentingan golongan dan kelompok. Begitu juga berdemokrasi kita tidak lagi berkeadilan sosial, dan seterusnya.

Itulah sebabnya, saran Moeslim Abdurahman (2006) tampaknya perlu ada referendum bagi seluruh rakyat Indonesia, apakah masih menggunakan Pancasila sebagai dasar filosofis kebangsaan kita? Referendum juga apakah memang semua anak bangsa di seluruh Indonesia masih mau menjadi bagian integral dari berbangsa satu bangsa Indonesia, ketika fenomena adu kekuatan politik menjadi realitasnya.

Rumah Ideologi

Pancasila adalah sebuah nilai yang menjadi prinsip dasar berkehidupan berkebangsaan Indonesia. Dalam pikiran saya, sebagai sebuah
value, Pancasila seharusnya menjadi ruang yang nyaman bagi tumbuh kembangnya ideologi (apa pun) asal sesuai dengan nilai dasar yang menyusunnya. Dalam sebuah kelakar, jika memang kapitalisme tidak bisa dilawan, mengapa tidak menjadikan kapitalisme ala Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, atau jika sosialisme adalah common sense kebersamaan kita, mengapa tidak dijadikan sebagai sosialisme yang berketuhanan Yang Mahaesa.

Sebagai contoh, konsep pembangunan bidang ekonomi tetap dibangun berlandaskan semangat kompetitif, tetapi tetap berlandaskan pada ekonomi yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak seperti saat ini, menolak logika kapitalisme, ternyata kehidupan sosial ekonomi kita berwatak kapitalis. Pasar modern dibangun di mana-mana, bahkan di kampung-kampung kecil, meskipun kemudian mematikan pasar tradisional. Parahnya, masyarakat kita membiarkan situasi ini terjadi. Bukankah pasar tradisional itu representasi simbol perekonomian rakyat kecil yang seharusnya dilindungi, sementara pasar modern lebih mengedepankan watak kapitalismenya.

Dengan demikian, mengedepankan kepentingan pemilik modal dalam logika ekonomi sama halnya dengan mengingkari nilai Pancasila yang mengarusutamakan ekonomi kerakyatan. Yakni, ekonomi yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Begitu juga ketika logika hukum yang ditegakkan di negeri ini lebih berpihak pada penguasa daripada rakyat kecil, bukankah itu juga mengabaikan nilai keadilan dan kemanusiaan.

Sebagai rumah ideologi, Pancasila harus menjadi arahan positif bagi kehidupan kebangsaan Indonesia yang lebih baik. Karena itu, yang menjadi penting harus dilakukan sekarang adalah bagaimana nilai Pancasila itu dilahirkan dan menjadi kenyataan hidup sehari-hari kebangsaan Indonesia kita. Bukan pada kapan lahirnya Pancasila, melainkan bagaimana nilai-nilai Pancasila itu dilahirkan di negeri ini. (*)

*) Listiyono Santoso, dosen ilmu filsafat dan etika FIB Universitas Airlangga dan penulis buku Membaca Ulang Pancasila (2003)







Tags: melahirkan nilai, reformasi melahirkan, selasa, melahirkan, nilai, pancasila