SEJARAH LASEM DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS DALAM MATA KULIAH

1 BAB 2 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 21 SEJARAH BERDIRINYA
16 BAB II LANDASAN TEORI 1 SEJARAH UMUM PERKEMBANGAN
22 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN SEJARAH UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI

26 BAB II LANDASAN TEORI 21 SEJARAH BERDIRINYA
29 BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN A SEJARAH DAN
40 BAB II LANDASAN TEORI A PENGERTIAN SEJARAH SEJARAH

SEJARAH LASEM



Disusun Untuk Memenuhi Tugas Dalam Mata Kuliah

Historiografi Indonesia

Dosen pengampu: Dr. Warto, M. Hum.





SEJARAH LASEM DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS DALAM MATA KULIAH




Oleh:

SRI MURYANTI

S861208029






PRODI PENDIDIKAN SEJARAH

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2013

SEJARAH LASEM


Oleh:

Sri Muryanti



Pada tahun 1273 Saka, yang menjadi penguasa/ratu di Lasem bernama Dewi Indu, saudara sepupu Prabu Hayam Wuruk di Wilwatikta. Dewi Indu sering disebut pula Dewi Purnama Wulan. Suaminya bernama Pangeran Rajasawardana, menjadi Dhang Puhawang (tentara laut) Wilwatikta, merangkap pula menjadi Adipati di Mataun. Sang Raden sering pula disebut Raden Panji Maladresmi.

Dewi Indu meninggal pada tahun 1304 Saka, sedangkan Pangeran Rajasawardana meninggal pada tahun 1305 Saka. Abu jasad kedua orang tersebut dibuatkan candi di lereng gunung Argasoka bagian utara. Tepat di sebelah timur Candi Ganapati Pucangan di Ngendhen. Menurut orang lasem, candi tersebut dijuluki Candi “MALAD”. Pada waktu itu agama orang Lasem adalah Syiwah dan Buddha, akan tetapi keduanya menyatu kepada Dharma.

Dewi Indu mempunyai anak Pangeran Badrawardana, kemudian Pangeran Badrawardana mempunyai anak Pangeran Wijayabadra, dan Pangeran Wijayabadra mempunyai anak Badranala. Ketiga keturunan Dewi Indu tersebut menjadi Adipati Lasem secara turun temurun, dan bertempat tinggal di dalem kraton Indu di bumi Kriyan.

Pangeran Badranala menikah dengan putri Cempa bernama Bi Nang Ti, menurunkan dua putra bernama Pangeran Wirabajra dan Pangeran Santibadra. Sepeninggal Pangeran Badranala yang menggantikan kedudukan Adipati Lasem yaitu Prabu Wirabraja, putra yang pertama.

Pangeran Wirabraja menjadi adipati tidak bertempat di Puri Kriyan, akan tetapi pindah ke Bonang Binangun, pada tahun 1391 Saka. Puri Kriyan ditempati Pangeran Santibadra beserta istri dan keturunannya.

Ketika Pangeran Wirabraja menjadi penguasa di Kadipaten Binangun itu, orang-orang yang bekerja berdagang dan berlayar ke Tuban, Gresik, dan Ngampel sudah mulai memeluk agama Rasul (Islam), agama Syiwa dan Buddha mulai ditinggalkan. Agama Rasul lebih mudah, serta syarat-syaratnya lebih irit dan ringan, tidak kebanyakan upacaradan sesajen yang beragam hingga menghabiskan banyak biaya.

Pangeran Wirabraja berputra Pangeran Wiranagara, ketika masih kecil sudah belajar ngaji agama Rasul di Ngampelgadhing. Akhirnya Pangeran Wiranagara diambil menantu oleh Maulana Rokhmat Sunan Ngampelgadhing, dipasangkan dengan anak pertamanya, Malokhah. Pangeran Wiranagara kemudian menggantikan ayahnya menjadi Adipati Binangun. Menjadi adipati baru 5 tahun sudah meninggal, pada tahun 1401 Saka. Pemerintahan Kadipaten kemudian dipegang oleh Putri Malokhah, janda yang berusia 28 tahun. Ketika itu sudah punya dua anak, yang pertama bernama Solikhah, dan terakhir baru umur setahun sudah meninggal ketika ayahnya masih hidup.

Tahun 1402 Saka (1480 M) Kadipaten Binangun dipindah ke Lasem oleh Putri Malokhah, bertempat di Colegawan, berhadapan dengan rumah Kapangeranan Kriyan, yang ketika itu ditempati Pangeran Santipuspa anak Pangeran Santibadra yang pertama, yang menjadi Dhang Puhawang yaitu Raja Samodra di pelabuhan Kaeringan. Bekas Kadipaten Bonang disuruh menempati adiknya Putri malokhah yang bernama Makdum Ibrahim, masih perjaka kelahiran tahu 1376 Saka, menjadi guru agama Rasul dan Muadzin. Ketika berusia 30 tahun diwisuda Sunan Agung Ngampel, dijadikan Wali negara Tuban mengurusi bab agama ke-Rasulan, diberi julukan Sunan Bonang.

Semakin dekatnya Putri Malokhah dengan Pangeran Santipuspa, semakin luntur pula kewajiban Putri Malokhah untuk menjalankan ibadah agama Rasul. Hal ini menjadikan adiknya, yaitu Makdum Ibrahim agak marah dan tidak mau lagi menjalankan perintah kakaknya tersebut. Makdum Ibrahim pulang ke Tuban sampai berbulan-bulan. Putri Malokhah menjadi janda sampai meninggal, yaitu usia 39 tahun. Sepeninggal Putri Malokhah, pengawasan Kadipaten Lasem dirangkap oleh Dhang Puhawang Pangeran Santipuspa dengan dibantu oleh adiknya yang bernama Pangeran Santiyoga.

Akhirnya setelah Pangeran Santipuspa dan Putri Malokhah meninggal, setelah ratusan tahun, ketika zaman pemerintahan Lasem dipegang Bupati Suroadimanggolo III buatan Belanda Kompeni Semarang, kemudian muncul cerita yang beraneka ragam.

Pangeran Santipuspa kelahiran tahun 1373, ketika berusia 18 tahun diperintah ayahnya menempati Puri Kriyan bersama ibunya dan membantu merawat adik-adiknya yang berjumlah sembilan, karena ditinggal ayahnya ke Majapahit memperdalam agama Syiwa Budha. Pangeran Santipuspa dengan iklas menerima menjadi jejaka, hingga usia 39 taun tidak mau menikah.

Adiknya yang pertama bernama Silastuti, yang pada akhirnya menjadi istri Adipati di Metaun.

Adiknya yang ke dua bernama Santawira, menjadi Kyai Ageng Bedhog, yang merupakan cikal bakal Desa Bedhog.

Adiknya yang ke tiga bernama Sulantari, menjadi istri Tumenggung Pamotan.

Adiknya yang ke empat bernama Sulanjari, menjadi istri Ki Ageng Ngataka, yang merupakan cikal bakal Desa Karangasem dan Desa Gedhug.

Adiknya yang ke lima bernama Silarukmi, menjadi istri Kyai Ageng Demang Ngadhem.

Adiknya yang ke enam bernama Santiyoga yang dijuluki Kyai Ageng Gada, menjadi Bintara Dhang Puhawang membantu kakaknya.

Adiknya yang ke tujuh bernama Santidarma, menjadi Demang di Bakaran, menurunkan pembesar di Juwana dan Jakenan.

Adik ke delapan bernama Silagati, menjadi istri Kyai Ageng Sutisna ing Criwik, menurunkan pembesar di Argasoka.

Adik ke sembilan bernama Santikusuma, kelahiran tahun 1390 Saka. Baru berusia setahun ditinggal ayahnya ke Majapahit sepuluh tahun lamanya. Umur dua tahun ditinggal mati ibunya.

Ketika sudah masa remaja, Pangeran Santikusuma sering diajak kakanya di Kaeringan belajar mendayung perahu, atau pergi berlayar ke Tuban mengunjungi kakek dari ibunya, Yaitu Shnan Bajagung (Adipati Tuban). Pangeran Santikusuma saat berusia 18 tahun, ilmunya sudah sangat luas. Ketika berusia 19 tahun beliau belajar ilmu keRasulan kepada kakeknya, Adipati Tuban. Dari kakeknya itulah Pangeran Santikusuma diberi nama ke-Islaman “Raden Mas Said”. Setelah pulang ke Lasem, Pangeran Santikusuma/Raden Mas Said sering berdiskusi tentang ilmu keRasulan dengan Sunan Bonang. Dari Sunan Bonang itulah R.M. Said memperoleh hal pokok ilmu keRasulan. Kata-kata berbahasa arab ilmu keRasulan dibuat cara jawa untuk mengganti kata-kata ilmu keBuddhaan. Semua itu oleh Pangeran Santikusuma diolah dijadikan ilmu Kejawen Kebatinan.

Darah Prabu Wijaya Majapahit orang Lasem keturunan Dewi Indu, hanya RM Said Santikusuma itulah yang sangat terkenal. Kyai Makdum Ibrahim yang disebut Sunan Walinegara, dan usianya lebih tua 14 tahun juga sungkan terhadapnya. Dengan hal tersebut, orang-orang di Lasem memberi nama Pangeran Santikusuma RM Said dengan sebutan “Pangeran Lokawijaya”. Aya Jin Bun kepala Bajak laut di teluk Menco yang berasal dari Palembang juga takluk dengan RM Said. RM said diangkat menjadi Panembahan di Glagah-langu bumi Dhemeg. Arya Jin Bun dijadikan Bintaranya. Dhemeg oleh orang desa lain diucapkan “Dhemak”.

Pangeran Santipuspa meninggal ketika berusia 50 tahun. Beliau berjanji bahwa di kemua keturunannya tidak akan makan ikan Cucut-lintang.

Pangeran Santipuspa berputra Pangeran Kusumabadra.

Pangeran Kusumabadra berputra Pangeran Santiwira.

Pangeran Santiwira berputra Pangeran Tejakusuma I.

Pangeran Tejakusuma I adalah seoorang trah Pangeran Santibadra yang ketika tahun 1502 Saka merangkai Kakawin Sabda Badrasanti diubah dibuat geguritan atas permintaan Kanjeng Sultan Pajang. Pangeran Tejakusuma I dijadikan menantu oleh Sultan Pajang, diangkat menjadi Adipati Lasem pada tahun 1507 Saka. Beliau bertempat di Kadipaten Lasem yang baru di bumi Sadhita. Pada tahun 1510 Saka, di barat alun-alun dibangun masjid.

Untuk memperluas agama Islam di Lasem, pada tahun 1547 Saka, Pangeran Tejakusuma I mendatangkan Guru agama Islam dari Tuban bernama Syeh Maulana Sam Bwa Smarakandhi yang masih keturunan Sunan Pwa Lang di Tuban. Akhirnya Syeh Maulana Sam Bwa dijadikan menantu Pangeran Tejakusuma I, dikawinkan dengan anaknya dari selir.

Pangeran Tejakusuma I meninggal pada tahun 1554 Saka, berusia 77 tahun. Dimakamkan di belakang masjid Kota Lasem.

Kyai Guru Syeh Maulana Sam Bwa Smarakandhi meninggal pada tahun 1575 Saka, berusia 61 tahun.

Pangeran Tejakusuma I menurunkan Pangeran Tejakusuma II

Pangeran Tejakusuma I menurunkan RM Wingit dan RM Wigit. RM Wigit, anak yang terakhir menjadi Adipati Lasem dengan nama Raden Panji Arya Adipati Tejakusuma III, menurunkan R.P.A.A. Tejakusuma IV.

RM Wingit, putra pertama sejak kecil sudah ikut Kanjeng Sultan Agung, menikah dengan putri yang masih cucu darah Kasultanan. Akan tetapi ketika Sunan Amangkurat I berkuasa menjadi raja dan bersekutu dengan Belanda, RM Wingit menjadi tidak betah di Mataram. Kemudian pamit pulang ke Lasem menjadi cikal bakal alas Kajor, sehingga namanya dijuluki Pangeran Kajoran atau Panembahan rama. Ketika Pangeran Adipati Anom putrane Sunan amangkurat I bersekutu dengan Trunajaya untuk menggulingkan ayahnya, Pangeran Kajoran kemudian berkhianat dan membela menantunya, yaitu Trunajaya melawan Sunan Amangkurat I. Akhirnya, sesudah Pangeran Adipati Anom berkuasa menjadi Sunan amangkurat II menggantikan ayahnya, malah memusuhi R Trunajaya dan Panembahan Rama.

Orang-orang Mataram yang dikejar-kejar Sunan amangkurat I mengungsi di Lasem membuka hutan Megamalang, bersekutu dengan Pangeran kajoran melawan Belanda dan Sunan Amangkurat II. Pangeran Wingit Panembahan Kajoran tertangkap musuh di pengungsian Desa Criwik. Dikhianati oleh teman seperguruan mengaji, yaiti Kyai Ambyah guru pesantren ing Warugunung, yang tega terhadap saudara demi tahta dari Sunan Amangkurat II. Pangeran Kajoran dihukum mati, dipenggal kepalanya oleh serdadu orang Bugis di timur dukuh Tulis. Jasadnya dikubur di Seklothok. Desa Kajor di porak-porandakan Kompeni, orang-orangnya mengungsi di hutan Argasoka.

Raden Panji Sumilir putrane Pangeran Kajoran yang pertama juga ikut berperang. Semua bala tentaranya mengungsi di tempat orang Kanung, ketika itu istrinya melahirkan anak di tengah perjalanan mengungsi. Seketika itu, RP Sumilir mendapatkan berita jika ayahnya dihukum mati oleh Kompeni atas perintah Sunan Amangkurat II. Seketika itu dia marah besar dan mengucapkan janji “semua keturunannya akan melawan Kompeni dan semua begundal Belanda”. Bayi yang lahir pada tahun 1612 itu diberi nama Raden Panji Suryakusuma.

Mulai 1601 tahun jawa itulah, bumi Lasem mulai menjadi panas membakar karena dijajah Kompeni dan prajurit Sunan Amangkurat II.

Brandhal Lasem yang dipimpin Janget kinatelon: Raden Trunajaya, RM Wingit (Pangeran Tejakusuma III), RM Wingit (Pangeran Kajoran) melawan kompeni Belanda dengan tekad “rela berkorban nyawa untuk membela bumi Lasem jangen sampai dikuasai Belanda”.

RM Wingit meninggal di medan perang pada 1612 tahun jawa. Raden Trunajaya dan bala tentaranya tersingkir mundur ke timur di daerah Bulu, kemudian Panembahan kajoran tertangkap musuh dihukum mati pada 1612 tahun Jawa.

Kyai Ambyah diberi hadiah oleh Sunan Amangkurat II, diangkat menjadi penguasa Lasem dengan nama Puspayuda berpangkat Tumenggung. Akan tetapi baru satu tahun berkuasa meninggal karena diracun pengikutnya yang tidak suka dengannya. Sunan Amangkurat II kemudian mengangkat Pangeran Tejakusuma IV dijadikan Adipati Lasem. Ketika itu Pangeran Tejakusuma IV nampak setia kepada Sunan Amangkurat II dan Kompeni Belanda. Akan tetapi itu hanya kepura-puraan untuk menghimpun kekuatan melawan belanda. Secara diam-diam Pangeran Tejakusuma IV mengirim barang-barang bantuan untuk Brandal di sekitar Gunung Argasoka.

Sampai meninggal di usia lanjut RPAA Tejakusuma IV menguasai Lasem mulai 1614 – 1647 tahun Jawa. Ketika berkuasa Pangeran Tejakusuma IV meminta tukang kayu di Desa Ketandhan yang bernama Ki Mijan untuk membuat wayang dari kayu jati, yang dinamakan wayang krucil. Lakon cerita diambil dari cerita Panji lasem. Mulai panji Maladresmi sampai Panji Sitaresmi.

Pada waktu itu orang-orang Dukuh Ngeblek senang membuat tontonan langen Emprak, yang dipimpin mantan Kepala Brandal di Dukuh Lowah bernama Ki Guntur. Walaupun sifat tontonan Emprak hanya lelucon dan kegembiraan, RPAA Tejakusuma IV ikut campur. Ki Guntur diajak mengolah kembali dibuat lakon cerita Panji Kediri, mendapat tambahan sifat kraton yang memberikan contoh bab unggah-ungguh kesusilaan. Pengolahan kembali tersebut dinamakan Ande-Ande Lumut.

Pangeran Santiwiro ketika meninggalkan puri Kriyan, kemudian menyamar menjadi orang miskin mengembara menuju daerah Barat Daya Gunung Glanggran dengan diikuti dua abdinya pada tahun 1478 Saka.

Sesudah Pangeran Santiwiro bertempat di tempat itu, orang-orang Lasem yang masih setia kepada Pangeran Santiwira dan masih mengikuti ajaran Budha, menyusulnya pada tahun 1483 Saka. Beliau dijuluki Kyai Ageng Panggiring atau Ki Ageng Nggiring Desanya kemudian disebut Desa Giring Ngratawan. Ketika Ki Ageng Giring berusia 78 tahun, beliau kangen dengan bumi kelahiranya. Kemudian pulang ke Lasem bertempat di Puncak Gunung Ngargapura pada tahun 1506 Saka.

Sepulang Panembahan Giring santiwira ke Lasem, yang menggantikan sesepuh Desa Giring yaitu anak Panembahan Santiwira bernama Ki Teja Bagus Srimpet. Masyarakat menyebutnya nunggak semi dengan panggilan KI Ageng GIRING (II).

Sultan pajang tahu jika Ki Ageng Giring Teja masih keturunan Lasem, sehingga dijadikan menantu dan diangkat menjadi Adipati Lasem dengan nama Pangeran Tejakusuma (I) pada tahun 1507 Saka.

Desa Giring kemudian diperintah oleh anak Pangeran Tejakusuma (I) bernama Ki Tara. Masyaraktnya memanggil Ki Ageng Giring Tara. Waktu itu kraton pajang sudah surut, berganti penguasa yang dipegang oleh Ngabehi Sutawijaya Senapati Mataram. Ki Ageng Giring Tara diangkat menjadi Demang Giring (III), bernama Ki tara Tejakusuma II.

Jaman Kanjeng Sinuhun Jolang, di Lasem muncul keributan. Tumenggung Puspanegara bawahan Pangeran Tejakusuma I yang bertempat bekas Puri Kriyan, membiarkan semua ulama dan para santrinya melawannya ketika berusia 57 tahun dan sakit-sakitan. Tumenggung Puspanegara bersedia merebut jabatan menjadi Adipati lasem dan tidak mengakui kekuasaan Mataram. Pangeran Tejakusuma I mengungsi ke Mataram sekeluarga selama empat tahun.

Ketika Sultan Agung menjadi penguwasa Mataram, Lasem dirubah. Tumenggung Puspanegara diadili. Lasem dikembalikan dibawah pimpinan Pangeran Tejakusuma pada tahun 1538 Saka.

Ki Demang Giring (Tara Tejakusuma II) mempunyai dua anak lelaki, yang pertama bernama RM Wingit, terakhir bernama RM Wingit. Keduanya ikut kakeknya diasuh di Kadipaten Lasem. RM Wingit ketika dewasa menikah dengan wanita dari Desa Criwik yang masih sedarah dengan Putri Silagati, mempunyai anak laki-laki bernama R. Panji Sumilir. Ketika kejayaan Sultan Agung Mataram, RM Wingit diminta kakeknya ke Mataram, sedangkan anaknya diasuh ibunya di Desa Criwik. Di Mataram RM Wingit menikah lagi dengan putri Mataram, kemudian mempunyai dua anak perempuan. RM Wingit dijuluki Panembahan Rama.

Sesudah Pangeran Tejakusuma meninggal, RM Wingit yang masih ikut kakeknya di Kadipaten Lasem diangkat Kanjeng Sultan Agung Mataram dijadikan Adipati Lasem dengan nama Pangeran Tejakusuma III. Setelah meninggal terkenal dengan nama Pangeran Tejakusuma Manggalayuda.

Anak Pangeran Tejakusuma III yang bernama RM Wicaksana, diangkat Sultan Amangkurat II menjadi Adipati Lasem dengan nama Pangeran Tejakusuma IV pada 1605 tahun Jawa. Sang Pangeran mengubah Pustaka Sabda Badrasanti menjadi tembang Macapat.

Sepeninggal Pangeran Tejakusuma IV, kekuwasaan digantikan anaknya yang bernama Raden Panji Sasangka, yang akhirnya dijuluki Raden Panji sasangka Tejakusuma V.

Pangeran Tejakusuma V menjadi Adipati di Lasem direstui Sunan Pakubuwana I pada 1741 tahun Belanda atau 1638 tahun Jawa, sepeninggal Sunan Pakubuwana I, kekuasaan digantikan oleh Sunan Amangkurat IV. Pangeran Tejakusuma V di dalam hatinya tidak setuju dengan Sunan Pakubuwana I dan Sunan Amangkurat IV. Secara tersembunyi membantu Arya Mataram dan Pangeran Purbaya yang melawan Belanda dan Sunan Amangkurat IV.

Para brandal di Mataram semakin lama semakin lumpuh dan makin banyak yang tertangkap. Pangeran Tejakusuma V menyampaikan kepada Sunan Amangkurat IV meminta berhenti menjadi Adipati Lasem. Kadipaten Lasem diserahkan kepada orang Cina kaya yang sudah memeluk agama Rasul, namanya Ui Ing Kiat. Akhirnya diangkat menjadi Tumenggung Lasem oleh Sunan Pakubuwana II, diberi nama Widyaningrat pada 1727 tahun Belanda.

Mulai 1740 tahun belanda orang Cina yang mengungsi di Betawi yang dikejar-kejar Balanda, pindah ke Lasem atau Dresi. Jumlahnya bertambah hingga dua kali lipat.

Rumah Kadipaten Lasem sepeninggal Pangeran Tejakusuma V diserahkan kepada anaknya yang pertama bernama Raden Panji Margana, yang ketika itu suka menjadi orang biasa.

Raden Pangeran Margana tidak suka terhadap Belanda dan Sunan Pakubuwana II sehingga bersekutu dengan Gabah Tumenggung. Pada 1672 tahun Jawa usia Raden Panji Margana mencapai 45 tahun, beliau membuka bumi rawa sambong dan narukan untuk tempat pengungsi. Tempak tersebut banyak pohon mental. Pada 1730 tahun Belanda, orang Cina yang kaya raya di kampung Pereng yang berdagang dan berlayar memperbesar sungai Paturen. 1741 tahun Belanda pengungsi Cina dari Betawi dan kota lainya yang berada di Lasem. Di Lasem tumbuh Manggalayuda yang dipimpin brandal Cina, yaitu:

  1. Raden Panji Margana menyamay menjadi Cina dengan Nama: Babah Tanpan Ciang. Mengenakan baju Kimplong Hitam bercelana ombor seperti pendekar Kundau.

  2. Cina Juragan pembuat batu bata yang suka membantu pakiy miskin, serta pendekar kundau yang berani bernama: Babah Tankewi.

  3. Raden Ngabehi Widyaningrat Tumenggung Lasem yaitu: Babah Ui Ing Kiat.

Dengan dibantu Brandal Cina Dresi dan Cina Jangkungan, seketika serdadu Belanda kacau balau. Setelah itu menyerang serdadu Belanda di Juwana, di timur sungai Juwana berkumpul dengan brandal Jawa dan Cina dari Purwodadi. Walaupun serdadu di Juwana memperoleh bantuan dari Kompeni Semarang akan tetapi tetap kalah. Tuwan Sayid Arab bernama Khaidar yang menjadi guru ilmu Pengabaran dan kesaktian dari Pati, guru tuwan Kontrolir Belanda Pati ikut membantu Belanda dengan menggunakan ilmu japamantra di alun-alun Juwana, akan tetapi berhasil dikalahkan juga. Perlawanan itu berlangsung hingga ke Mandalika. Memang malang Babah Tan Ke Wi beserta tentaranya. Prahu yang ditumpanginya terkena hantaman meriyam. Mereka meninggal di Mandalika. Tetapi pada akhirnya, di malam hari pasukan brandal dari lasem tersebut dapat mencari titik lemah Belanda, hingga akhirnya dapat merampas senjata dari Belanda.

Dikarenakan pasukannya yang hanya tinggal sedikit, brandal-brandal tersebut tidak berani meneruskan ke Jepara, dan memutuskan kembali ke Lasem. Hilangnya Sang Wirengyuda Sian Sing Tan Ke Wi beserta tentaranya yang tenggelam di laut Mandalika dibuatkan peringatan yang ditulis di Batu Selat menggunakan tulisan cina pada 5 November 1742 tahun Belanda.

Tercerita perang besar-besaran di Juwana silih berganti antara serdadu Belanda dan para Bantheng ayuda Brandhal Wirengsudra. Kota Juwana terkepung dari berbagai arah. Dari selatan bantuan dari Jaken dan Kawak yang dipimpin oleh Ki Ageng Sokawangi darah Mpu Santibadra, berkumpul dengan brandal dari Purwadadi. Dari arah timur dipimpin oleh RP Margana aliyas Babah Tan Pan Ciang, beserta Babah Tumenggung Ui Ing Kiat. Akan tetapi sial benar nasib brandal-brandal tersebut. Semua bala tentara serdadu Belanda sudah disiapkan untuk melawan brandal-brandal tersebut. Senjata api diarahkan ke tempat brandal-brandal di Rumbutbrumbung baratnya Ngerang. Tanpa terduga, ternyata dari timur menikam dari belakang prajurit Adipati Cakraningrat IV dan begundal-begundal Belanda dari Tuban. Banyak brandal yang tewas dan lari terbirit-birit.

RP Margana dan prajuritnya bernama Galiya membuwang pakaian seperti Cina, diganti dengan pakaian orang tani yang dibelinya di Desa Raci, dan membeli dandang tembaga bekas untuk menyamar menjadi tukang tembaga (sayang) kulak barang bekas. Sehingga perjalanannya tidak diketahui oleh siapapun. Selamat sampai di Lasem di waktu petang hari menjelang magrib.

Sesampainya di rumah, RP Margana merasa capek sekali, hingga sakit berbulan-bulan. Akan tetapi sakitnya itu menjadi keberuntungan baginya. Beliau sedang sakit, sehingga bisa berpura-pura tidak tahu kejadian pembrandalan Cina Lasem.

Tercerita Babah Tumenggung Ui Ing Kiat tahu jika bala tentaranya banyak yang meninggal dan melarikan diri. Beliau kemudian berganti baju kejawen mengaku orang Kartasura yang berjualan gamelan. Sesampainya di Kartasura kemudian mengunjungi Sinuhun Pakubuwana II, bilang jika lari meninggalkan Lasem mengungsi ke Kartasura, karena akan dibunuh brandhal Cina Lasem.

Ketika pembrandalan Cina sudah mulai surut, Tumenggung Widyaningrat kemudian pulang ke Lasem, yang ketika itu anak istrinya sudah mengira jika dia sudah mati. Tumenggung Widyaningrat memegang pemerintahan kembali dengan pura-pura sangat tidak suka kepada para brandhal. Kompeni Belanda sudah tidak percaya lagi kepada Tumenggung Cina tersebut, sehingga kekuwasaan Tumenggung Widyaningrat dikurangi. Hanya khusus memerintah cina di dalam kota saja.

Mulai 1743 tahun Belanda bulan Nopember, orang-orang Cina yang berada di Dresi dan desa-desa lain hidup bersama orang Jawa disiksa oleh orang Belanda. Pada 1745 tahun Belanda, Wan Imop, Jendral Belanda Betawi mengangkat orang Semarang dijadikan Bupatiregen Lasem yang pertama, bertempat di Tulis. Orang tersebut bernama Suroadimenggolo III. Pemerintahannya sangat kejam..

Pada 1747 tahun Belanda, semua orang diancam:

  1. Yang ketahuan bersekutu dengan Brandal, akan dihukum mati.

  2. Tidak diperkenankan menyimpan surat-surat Pustaka syiwah atau Budda, serta Cerita Lasem dan catatan tentang Brandal-brandal Lasem. Yang masih memiliki supaya diberikan ke Kabupaten. Yang masih menyimpan, jika ketahuan akan dihukum cambuk duapuluhlima kali.

  3. Arca-arca Candhi diperintahkan supaya dimusnahkan. Candinya supaya dihancurkan.

Semua pustaka itu dibakar. Ketika itu Raden Panji margana sudah berusia 52 tahun, orang-orang di daerah Lasem, Sedhan, Pamotan sampai Keragan hormat dan cinta kepada beliau. Sebenarnya RP Margana masih menyimpan Pustaka Sabdabadrasanti, akan tetapi orang-orang Belanda tidak berani menggledah.

Arca-arca yang ada dihancurkan, kemudian diceburkan di tengah laut, pada 1748 tahun Belanda. Orang-orang yang masih suka pada kitab-kitab tersebut, secara sembunyi-sembunyi ingin membubuh Bupati Suroadimenggolo III.

Dikarenakan Bupati Suroadimenggolo III tidak kerasan berada di Tulis Lasem, pada 1750 tahun belanda kabupaten dipindah ke Magersari Rembang.

Putra R. Panji Sumilir yang bernama R.P Suryakusuma dan R.P Suryadilaga yang menjadi sesepuh orang Lowah dan semua saudaranya, berjanji di Pundhen Candhi Malad. Sumpah janjinya adalah akan membalas menghancurkan Bupati Suroadimenggolo III dan menumpas Kompeni Belanda beserta pengikutnya.

Pada Agustus 1750 tahun Belanda, brandhal Lasem yang sudah tua mulai muncul keberaniannya lagi. Anak-anak muda yang melihat itu pun ikut terbakar semangatnya. R. Panji Margana yang sangat dicintai dan dipuja orang-orang Jawa dan orang-orang Cina sa-Lasem juga ikut terbakar semangatnya ketika mendengar kabar bahwa orang Argasoka mulai berani mbrandhal.

Di waktu itu tepat hari Jumat waktunya santri-santri solat Jumat, imamnya adalah Kyai Ali Badawi di Purikawak. Orang tersebut masih merupakan kakek buyut Pangeran Tejakusuma I, keturunan dari Mpu Santibadra. Setelah mendapat perintah dari R.P Margana, usai solat Jumat kyai Ali Badawi memberitahukan kepada umat Islam diajak perang sabil melawan Belanda. Semua orang setuju.

Raden Panji Mlayakusuma Bantheng-wareng dari Gada, keturunan Pangeran Santiyoga yaitu Kyai Ageng Gada putra dari Pr. Mpu Santibadra juga ikut menurunkan brandal-brandal dari Gada, Kasareman, Badheg, dan dari Ngadhem, mengepung kota Rembang dari arah selatan.

Brandal yang berasal dari Sedandan Pamotan yang dipimpin Nayagimbal, sudah mendahului menyerang Belanda di lapangan Tireman. Nayagimbal mendahului menyerang karena dibohongi temannya yang ternyata membela Belanda. Orang-orang Cina yang mendengar adanya pembrandalan ikut pula terbakar semangatnya. Mereka dipimpin oleh Babah Mayor Ui Ing Kiat.

Dua minggu lagi brandal-brandal itu mengoyak Belanda di Rembang. Kompeni belanda dan Bupati suro sudah mendapat laporan dari mata-matanya. Mereka meminta bantuan dari Jepara dan Semarang melalui lautan, bantuan dari bupati-bupati bawahan Belanda juga diminta. Sehingga Kompeni Belanda mendahului menyerang Brandal Nayagimbal yang sudah memasuki daerah Tireman.

Bantuan prajurit dari Tuban dipimpin oleh Tumenggung Citrasoma, mendaratkan prajurit di Bonang dan Leran, kemudian berkelahi dengan brandal Argasoka yang dipimpin oleh R.P Suryakusuma. Perang berlanjut ke barat sampai Karangpace dan Sambong yang banyak pohon Tal. Penderes yang sekalian mengawasi jika ada marabahaya dari Rembang langsung berperang melawan Kompeni Belanda dari Jepara dan pasukan Tumenggung Citrasoma dibawah pimpinan Babah mayor Ui Ing Kiat.

R.P. Margana akhirnya terkena tembakan musuh. R.P. Margana disaut dibawa mundur Ki Mursada dan dibawa pergi oleh Ki Galia. Akan tetapi walaupun sudah dirawat R.P. Margana meninggal karena banyak mengeluarkan darah. R.P. Margana memberikan pesan kepada Ki Mursada dan Ki Galia.

Jasadnya supaya dikubur di bawah bagian utara pohon trenggulun di semak sambong. Tanah makamnya supaya diratakan dan jangan diberi batu nisan, ditutupi duri dan daun kering agar tidak diketahui musuh, serta disembunyikan dibuat rahasia.

Anaknya yang terakhir yang masih bayi bernama R.P. Witana dan istrinya agar diungsikan di Narukan, dengan menyamar sebagai petani.

Pustaka-pustaka suci dan Pustaka Sapda Badrasanti agar dititipkan Mbah Bekel Criwik Ki Badraguna, putra dari R.P. Suryakusuma yang pertama.

Tembang Sinom ciptaanya ketika sakit karena kecapekan dari palagan Juwana agar dipakai tembang Kidung.

Tercerita Brandal Gada yang dipimpin RP Mlayakusuma bertempur dengan kompeni di Kaliuntu, dengan bantuan Brandal Ngadhem lan Badheg bertempur dengan prajurit dari Blora di Besi. RP Mlayakusuma beserta prajuritnya menyamar menjadi kuli pengambil air, menyusup ke kota Rembang, membawa lugud rawe dan getah kayu ingas dimasukkan di sumur serdadu. Prajurit Serdadu yang setelah mandi akhirnya merasa gatal bukan main. Ditengah kejadian itulah RP Mlayakusuma beserta prajuritnya menyerang Kompeni. Mereka berhasil melakukan penyerangan sampai melarikan diri.

Ki Noyosentono Demang Waru kepercayaan Bupati Suroadimenggolo III yang terkenal sakti, ketika mendengar RP Mlayakusuma mantan majikannya itu memimpin Brandal membela pangeran Talbaya, seketika Ki Demang Waru memerintahkan semua rakyat dan abdinya yang tercinta dengan diam-diam, diajak melarikan diri ke Gunung Kendheng mengungsi ke dukuh Logedhe di tempat pamannya.

Setelah Ki Demang memasrahkan rakyatnya kepada bekel Logedhe, beliau dan sebagian orang situ dengan tulus ikhlas menuju tempat Brandal di Babadan, berkumpul dengan Brandal Pengkol Sembiyan Gingsir yang dipimpin Ki Noyogembong Pengkol adik Ki Noyosentono. Prajurit dan Serdadu Belanda dari Juwana dan Pati bertemu Brandal Pengkol berperang di Sakengkeng dan Rambutmalang serta semak-semak di Cering.

Tercerita Sian Sing Babah Mayor Ui Ing Kiat yang berada di palagan Layur, setelah mendengar kabar bahwa RP Margana meninggal di palagan Karangpace, seketika langsung marah besar dan berteriak-teriak kayak orang gila. Kemudian maju ke depan membabat orang-orang Belanda. Karena kemarahannya itu, hilanglah kehati-hatiannya. Akhirnya Sian sing keturunan Bi Nang Now pujangga Cempa itu kena tembakan serdadu.Belanda Ambon.

Setelah pembrandalan surut rumah R.P. Margana dijaga Belanda, ditempati Tuan Kontrolir Hapen pada Januari 1751. Rumah Kyai Dhang Puhawang Ui Ing Kiat ditempati keponakannya yang diangkatBelanda menjadi Kapitan di Lasem

Bupati Suradi Menggolo III dipulangkan di Semarang, karena dianggap tidak bisa ,menentramkan orang-orang di Lasem. Tumunggung Citrasoma diangkat menjadi Bupati Lasem, bertempat di Binangun, karena merasa hangat berada di Bonang yang dekat dengan orang Islam.

Pemerintah Belanda membuat mata-mata di setiap wilayah lasem, yang mempunyai cerita bab brandal, akan dimasukan ke penjara atau dibuwang ke tanah sabrang.

Hilangnya Babah Tan Ke Wi dan Babah Ui Ing Kiat dan setelah Lasem menjadi tentram, nama mereka berdua diagungkan orang Cina di Lasem, disebut: Tan – Ui Ji Sian Sing, yang berarti: Babah Tan dan Babah Ui mereka berdua orang yang utama.

DAFTAR PUSTAKA


Hapsara, Probo. 1987. Carita (Sejarah) Lasem. Tanpa Penerbit.



51 BAB III GAMBARAN UMUM INSTITUSI 1 SEJARAH SINGKAT
­ KERAJAAN KUTAI LATAR BELAKANG DALAM SEJARAH INDONESIA TERDAPAT
BAB I PENDAHULUAN A SEJARAH SINGKAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA


Tags: dalam mata, di dalam, kuliah, tugas, untuk, dalam, memenuhi, disusun, lasem, sejarah